Kepenatan mengikuti pesta demokrasi dalam rangka memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk di sebagai Dewan Perwakilan Rakyat April 2009 yang lalu sepertinya belum hilang, hari-hari yang diwarnai dengan penuhnya pojok-pojok jalan dan fasilitas umum dengan bendera parpol dan gambar-gambar para calon anggota dewan yang terhormat, lengkap dengan slogan-slogan yang lucu-lucu yang semuanya berbau seolah-olah ada keberpihakan pada rakyat, maka hari-hari ini dan kedepan rakyat tinggal menunggu dan melihat apakah mereka dapat memenuhi janjinya atau hanya “omdo” alias omong doang, mengingat ditengah banyaknya wakil rakyat yang memang mampu, namun banyak pula yang mohon maaf baca undang-undang saja tidak pernah, apalagi besok mereka harus membuat undang-undang, hal ini yang mungkin harus dipahami dan disadari oleh para wakil rakyat yang masih baru dan untuk pertama kali akan memasuki dunia politik praktis namun terpaksa sudah harus memulai pada arena yang sebenarnya bukan untuk ajang belajar atau berlatih.
Ditengah-tengah aktivitas rakyat menunggu kiprah para anggota dewan (baru) yang terhormat, seluruh elemen bangsa sudah mulai merasakan naiknya suhu politik di negeri ini, sehubungan dengan ramainya bursa calon pemimpin dan pengayom negeri ini berkompetisi memperebutkan kursi kepemimpinan.
Ibarat belanja di supermarket, rakyat diperhadapkan pada pilihan-pilihan yang beragam, mulai dari wajah lama berpasangan dengan wajah lama, wajah lama berpasangan dengan wajah baru, calon dari latar belakang militer berpasangan dengan ekonom, calon berlatar belakang sipil berpasangan dengan calon yang berlatar belakang militer. Pada akhirnya rakyat lah yang harus mulai berpikir dan menimbang-nimbang, pengalaman ber-demokrasi paling tidak selama satu dasawarsa terakhir ini seharusnya sudah mengajarkan kepada rakyat apa yang harus dilakukan dan siapa yang harus mereka pilih sebagai pemimpin dan pengayom mereka.
Dinamika politik vs ekonomi
Ada anggapan bahwa di negara maju antara politik dengan ekonomi dapat berjalan beriringan dan tidak saling mangganggu mungkin belum berlaku di negeri ini. Hal yang menarik disaat Presiden SBY memutuskan untuk memilih Pak Boediono – Gubernur BI untuk mendampinginya sebagai Wakil Presiden, berbagai komentar silang pendapat, baik pro dan kontra terus bermunculan baik berasal dari partai politik maupun pelaku bisnis dan usaha, puncaknya adalah pada saat minggu lalu Komisi IX DPR RI membatalkan pelaksanaan rapat kerja dengan Menko Perekonomian sehubungan ketidak hadiran Gubernur Bank Indonesia, padahal rapat tersebut sedianya akan membahas kemungkinan dan upaya penurunan suku bunga perbankan.
Ketidak hadiran Pak Boediono bukan tidak disengaja, namun menurut pendapat penulis hal tersebut justru merupakan bagian dari upaya Pak Boediono untuk mencoba bersikap netral dan disaat-saat terkahir kepemimpinannanya selaku Gubernur Bank Indonesia Pak Boediono tidak mau mengambil suatu keputusan yang strategis, yang mungkin akan berdampak pada perekonomina secara luas.
Kembali pada sikap / langkah yang diambil oleh Pak Boediono, menurut pendapat penulis sikap dan langkah tersebut diambil sudah sesuai dengan koridor hokum / peraturan dan peundang-undangan yang ada.
Sedikit kita melihat pada Undang-Undang No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sebagai berikut :
BAB VII – DEWAN GUBERNUR , Pasal 36 disebutkan bahwa Dalam melaksanakan tugasnya, Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Gubernur.
Selanjutnya pada Pasal 37 terdiri atas 4 ayat, yang mengatur hal-hal sebagai berikut :
- Dewan Gubernur terdiri atas seorang Gubernur, seorang Deputi Gubernur Senior, dansekurang-kurangnya 4 (empat) orang atau sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang Deputi Gubernur.
- Dewan Gubernur dipimpin oleh Gubernur dengan Deputi Gubernur Senior sebagai wakil.
- Dalam hal Gubernur dan Deputi Gubernur Senior berhalangan, Gubernur atau Deputi Gubernur Senior menunjuk seorang Deputi Gubernur untuk memimpin Dewan Gubernur.
- Dalam hal penunjukan sebagaimana ditetapkan pada ayat (3) karena sesuatu hal tidak dapat dilaksanakan, salah seorang Deputi Gubernur yang paling lama masa jabatannya bertindak sebagai pemimpin Dewan Gubernur.
Apabila melihat dan memahami Undang-Undang No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia khususnya pasal 37 ayat (3), maka bukan dalam kapasitas membela Pak Boediono, menurut pemahaman penulis, langkah yang diambil oleh Pak Boediono selaku Gubernur Bank Indonesia dengan mengirim surat pemberitahuan ketidak hadirannya dalam rapat dengan Komisi IX DPR dan mengirimkan Deputi Gubernur Senior dan Deputi Gubernur untuk mewakilinya menghadiri rapat dimaksud sudah sesuai dengan ketentuan yang diatur didalam Undang-Undang.
Bahkan apabila memperhatikan pada acara-acara rapat sejenis pada masa-masa sebelum penetapan Pak Boediono selaku calon Wakil Presiden oleh Presiden SBY, komisi IX DPR tidak mempermasalahkan ketidak hadiran Gubernur BI sepanjang ada yang mewakili dari jajaran Dewan Gubernur BI.
Kembali pada polemik tentang ketidakhadiran Pak Boediono dalam beberapa event acara sepanjang minggu ketiga bulan Mei 2009, antara lain pada acara pembukaan konggres perbanas dan raker dengan komisi IX DPR, selain daripada kemungkinan adanya niatan Pak Boediono untuk menghindarkan diri pada pengambilan keputusan yang penting, menurut pendapat penulis juga merupakan suatu upaya Pak Boediono mempersiapkan diri untuk mengemban amanat yang lebih besar. Tebukti beberapa saat setelah deklarasi bersama-sama dengan Presiden SBY sebagai Capres dan Cawapres 2009 – 2014, Pak Boediono langsung menyampaikan surat pengunduran dirinya sebagai Gubernur Bank Indonesia dan beliau berharap pengunduran dirinya sudah efektif sejak hari Sabtu 16 Mei 2009.
Langkah yang diambil oleh Pak Boediono tersebut juga sebagai perwujudan untuk memenuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No.3 Tahun 2004, tentang Perubahan Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, khususnya pasal 47 ayat (1) dan (2), yang mengatur hal-hal sebagai berikut :
- Anggota Dewan Gubernur baik sendiri maupun bersama-sama dilarang :
- mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung pada perusahaan mana pun juga;
- merangkap jabatan pada lembaga lain kecuali karena kedudukannya wajib memangku jabatan tersebut;
- Dalam hal anggota Dewan Gubernur melakukan salah satu atau lebih larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dan huruf b , anggota Dewan Gubernur tersebut wajib mengundurkan diri dari jabatannya.
Dengan memperhatikan uraian diatas yang didasarakan pada kupasan mengenai isi dari Undang-Undang tentang Bank Indonesia yang tentunya juga merupakan produk dari Lembaga Legislator / DPR, maka seyogyanya diperlukan kemauan yang lebih dari sekedar daripada cukup untuk masing-masing pihak kembali mencoba memahami makna dari setiap pasal dalam suatu Undang-undang, sehingga masing-masing tidak terjebak pada polemic yang dibuat seolah-olah didasarkan pada suatu kebenaran, namun sejatinya keliru. Hal ini sangat penting dalam memberikan pelajaran bagi rakyat/masyarakat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
Sehingga nantinya entah kapan, negeri ini juga berkesempatan mengalami bahwa suatu dinamika politik dan ekonomi dapat berjalan beriringan dan tidak saling menggangu, dan hal tersebut bias terwujud apabila pemahaman atas katentuan, peraturan dan perundang-undangan sudah lebih dari cukup bagi pelaku terlebih lagi bagi pembuat undang-undang itu sendiri.
Antonius Ketut
Praktisi dan Pemerhati
Perbankan
Jakarta
“DISCLAIMER : Semua tulisan, artikel, informasi dan gambar yang ada pada blog ini merupakan pendapat pribadi Antonius Ketut Dwirianto selaku pemiliki akun/blog dan tidak dimaksudkan untuk menduplikasi karya pihak lain, mengaburkan data dan informasi, memberikan informasi dan keterangan palsu atau menyimpang serta memiliki maksud-maksud yang melanggar kode etik dan hukum”