The Financial Action Task Force (FATF) dalam sidangnya pada tanggal 9 s.d 11 Februari 2005 di Paris, memutuskan Indonesia keluar dari daftar Non-Cooperative Countries and Territories (NCCTs). Keputusan ini diambil setelah mengikuti secara seksama perkembangan dan kemajuan yang luar biasa dalam berbagai hal termasuk pengaturan, kebijakan dan penanganan tindak pidana pencucian uang, serta mempertimbangkan komitmen yang sungguh-sungguh dari Pemerintah Indonesia. Penilaian FATF terhadap rezim anti pencucian uang Indonesia dilakukan secara rutin setiap tahun, dan yang terakhir dengan melakukan on-site visit ke Indonesia pada tanggal 26-28 Januari 2005. “Keluarnya Indonesia dari NCCTs merupakan pengakuan masyarakat internasional atas kemajuan-kemajuan konkrit yang dicapai oleh Indonesia selama ini”, tegas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sementara itu FATF menyebutkan bahwa Indonesia telah banyak mengalami kemajuan yang berarti dalam membangunan rezim anti pencucian uang. „Sidang memutuskan bahwa Indonesia telah memenuhi rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan oleh FATF“ demikian siaran pers yang dikeluarkan oleh lembaga ini.
Keluarnya Indonesia dari daftar NCCTs berkat upaya keras dan sungguh-sungguh Pemerintah antara lain:
- Pemberlakuan UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003;
- Pembentukan PPATK sebagai focal point pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
- Pembuatan Peraturan Pelaksanaan berupa; Peraturan Pemerintah, Keppres, Keputusan Kepala PPATK, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Bapepam, Keputusan Menkeu, Keputusan Dirjen Lembaga Keuangan, dan Keputusan Dirjen Bea dan Cukai.
- Melaksanakan kerjasama internasional berdasarkan MoU dengan Financial Intelligence Unit (FIU) negara-negara Malaysia, Thailand, Korea Selatan, Filipina, Australia, Rumania, Belgia, dan berdasarkan asas reciprocity dan exchange letter dengan negara-negara lainnya;
- Penandatanganan ASEAN MLA Treaty bersama beberapa negara ASEAN lainnya,
- Penyusunan RUU Bantuan Hukum Timbal Balik (MLA) yang akan memungkinkan Indonesia melakukan kerjasama internasional yang lebih baik dalam penegakan rezim anti pencucian uang;
- Tindakan responsif Indonesia dalam memenuhi permintaan informasi yang berkaitan dengan pencucian uang dan tindak pidana lainnya dari negara lain;
- Keanggotaan dan peran aktif Indonesia di dalam APG (Asia Pacific Group on Money Laundering) dan the Egmont Group (Perkumpulan FIU se-dunia);
- Pembuatan MoU antar instansi terkait di dalam negeri (PPATK, Bank Indonesia, Polri, Kejaksaan, DJ Lembaga Keuangan, Bapepam, DJ Bea dan Cukai, DJ Pajak, dan KPK);
- Pembentukan Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (Komite TPPU) dan Tim Kerja membahas issue strategis;
- Pelaksanaan ”Implementation Plan on Indonesia Anti-Money Laundering Regime” yang telah diserahkan kepada FATF pada tanggal 18 Februari 2003;
- Peningkatan kinerja rezim anti pencucian uang Indonesia yang tercermin dalam :
- Jumlah PJK yang menyampaikan LTKM (74 bank, 17 non-bank);
- Jumlah LTKM yang dilaporkan oleh PJK (1432 LTKM);
- Jumlah LTKT (Laporan Transaksi Keuangan Tunai) yang dilaporkan kepada PPATK (865.646 LTKT);
- Jumlah hasil analisis LTKM yang dilaporkan oleh kepada Polri (258 kasus) dan Kejaksaan (2 kasus)
- Jumlah perkara TPPU yang diproses oleh aparat penegak hukum.
- Pelaksanaan compliance audit yang lebih intensif dalam rangka meningkatkan kepatuhan Penyedia Jasa Keuangan baik yang dilakukan sendiri oleh PPATK, maupun yang dilakukan bersama otoritas pengawas PJK; dan
- Peningkatan kemampuan aparat instansi terkait dalam penegakan rezim anti pencucian uang melalui pelatihan dan seminar di dalam dan luar negeri.
Di samping upaya yang bersifat teknis sebagaimana telah dijelaskan di atas, Pemerintah juga melakukan upaya diplomatis antara lain :
- Presiden menunjuk beberapa menteri sebagai special envoy untuk bertemu dengan kepala pemerintahan beberapa negara anggota FATF guna menjelaskan perkembangan dan kemajuan rezim anti pencucian uang di Indonesia, yaitu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian ke Presiden AS dan Presiden Brasil pada akhir Januari 2005, Menteri/Sekretaris Negara ke PM Jepang pada akhir Januari 2005, Menteri Keuangan ke PM Australia dan PM Selandia Baru pada awal Februari 2005 dan Menteri Perdagangan ke PM Inggris dan Presiden Perancis pada pertengahan Januari 2005;
- Menko Polhukam mengirimkan commitment letter tanggal 4 Februari 2005 kepada Presiden FATF yang berisi komitmen untuk melanjutkan pembangunan rezim anti pencucian uang secara berkesinambungan; dan
- Menteri Luar Negeri, para Duta Besar dan Kepala Perwakilan Tetap Republik Indonesia di luar negeri melakukan pendekatan kepada pemerintah dari negara-negara anggota FATF.
Indonesia dimasukkan ke dalam daftar ini sejak Juni 2001 bersama-sama 16 negara lainnya karena dinilai memiliki banyak kelemahan dalam menangani tindak pidana pencucian uang antara lain belum adanya undang-undang anti pencucian uang, lemahnya penegakan hukum, celah di bidang ketentuan sektor keuangan dan non-keuangan, serta kurangnya kerjasama internasional. Sebelum keputusan yang mengeluarkan Indonesia tersebut, Indonesia masih dikelompokkan ke dalam NCCTs bersama dengan 5 (lima) negara lainnya yaitu Nauru, Cook Island, Nigeria, Myanmar dan Filipina. Keluarnya Indonesia dari NCCTs list merupakan sesuatu yang sejak lama ditunggu-tunggu oleh banyak kalangan. Masuknya Indonesia di dalam NCCTs selain berdampak pada makin terpuruknya image Indonesia di mata masyarakat internasional, juga menimbulkan kerugian yang dialami oleh bank dan Penyedia Jasa Keuangan lainnya terutama dalam melakukan transaksi keuangan dengan mitranya di luar negeri. Keberadaan Indonesia di dalam NCCTs tersebut telah menciptakan ekonomi biaya tinggi sehingga berdampak pada menurunnya daya saing produk kita di pasaran internasional, dan pada gilirannya menggangu pemulihan ekonomi yang tengah berlangsung. Oleh karena itu proses delisting ini sejatinya menjadi momentum baru bagi upaya penegakan hukum dan penciptaan stabilitas dan integritas sistem keuangan. Momentum penegakan hukum dimaksudkan untuk terus meningkatkan „greget“ pemberantasan tindak pidana pencucian uang beserta tindak pidana asal yang menjadi sumber uang haram seperti korupsi, illegal logging, perdagangan gelap narkotika dan psikotropika, penyelundupan, tindak pidana perbankan dan tindak pidana berat lainnya. Sedangkan upaya menciptakan stabilitas dan integritas sistem keuangan dilakukan dengan terus meningkatkan kesadaran dan kepatuhan Penyedia Jasa Keuangan melaksanakan UU TPPU, KYC (Know Your Customer) principles, dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
FATF dalam keputusannya meminta Indonesia untuk melanjutkan pembangunan rezim anti pencucian uang (sustainable development) dan menyampaikan laporan pelaksanaan Implementation Plan secara periodik. FATF akan melakukan monitoring selama minimal 1 (satu) tahun dan meminta Indonesia memfokuskan pada beberapa hal:
- Meningkatkan pelaksanaan penanganan perkara TPPU tepat waktu;
- Meningkatkan capacity building terutama kepada para penegak hukum yang melakukan penanganan perkara TPPU;
- Mendorong agar small banks menyampaikan LTKM;
- Melaksanakan pemeriksaan (audit) terhadap Penyedia Jasa Keuangan secara tegas;
- Mengundangkan RUU Tentang Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance) serta melaksanakan kerjasama internasional di bidang kerjasama penegakan hukum; dan
- Memenuhi komitmen untuk mendukung operasional PPATK meliputi penyediaan anggaran, gedung perkantoran, sistem penggajian tersendiri dan kewenangan pengangkatan pegawai tetap PPATK.
Presiden meminta agar keberhasilan ini tidak membuat kita cepat berpuas diri, melainkan justru semakin meningkatkan semangat dan upaya semua instansi terkait pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya dalam melaksanakan rezim anti pencucian uang di Indonesia.
Untuk Editor
Perkembangan Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia
- Berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh FATF dengan berpedoman pada NCCTs Initiative tersebut, pada bulan Juni 2001 Indonesia bersama 5 negara lainnya dimasukkan ke daftar NCCTs, sehingga pada posisi Juni 2001 negara yang masuk dalam daftar NCCTs berjumlah 16, karena pada saat yang sama terdapat pula 4 negara yang keluar dari daftar tersebut. Kelemahan yang secara gamblang disoroti oleh FATF pada saat itu adalah belum adanya ketentuan atau UU yang mengatur tentang TPPU dan mengkriminalkan kegiatan pencucian uang, adanya celah (loophole) di bidang ketentuan sektor keuangan dan non keuangan misalnya belum adanya ketentuan Know Your Customer and Fit and Proper, kurangnya sumber daya dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, serta kurangnya kerjasama internasional. Keberadaan Indonesia di dalam NCCTs secara langsung berdampak secara ekonomis dan politis. Secara ekonomis sangat merugikan kita karena sekaligus menempatkan Indonesia ke dalam kriteria high risk country. Pencantuman Indonesia di dalam NCCTs list berdampak terhadap transaksi keuangan yang dilakukan oleh lembaga keuangan domestik dengan lembaga keuangan internasional yaitu meningkatnya risk premium yang menaikkan biaya transaksi lembaga keuangan. Tingginya biaya transaksi keuangan ini pada gilirannya akan mempengaruhi daya saing produk-produk kita Indonesia di pasaran internasional dan cenderung menaikkan harga barang dan jasa yang pada akhirnya akan berdampak pula pada stabilitas sistem perekonomian kita. Dari segi politik dan hubungan internasional, keberadaan Indonesia di dalam NCCTs list, menimbulkan image negatif yang mengganggu di kancah pergaulan internasional
- Upaya untuk melawan kejahatan pencucian uang pada tingkat internasional dilakukan dengan membentuk satuan tugas yang disebut Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering. Saat ini FATF beranggotakan 31 negara/yurisdiksi dan 2 organisasi regional. Salah satu peran FATF adalah menetapkan kebijakan dan langkah-langkah yang diperlukan dalam melawan pencucian uang dalam bentuk rekomendasi tindakan untuk mencegah dan memberantas pencucian uang. Sejauh ini FATF telah mengeluarkan 40 rekomendasi pencegahan dan pemberantasan pencucian uang/”FATF Forty Recommendations” serta 9 (sembilan) rekomendasi khusus untuk memberantas pendanaan terorisme/ “FATF Nine Special Recommendations on Terrorist Financing”, termasuk diantaranya 1 rekomendasi khusus tentang Cash Courier yang baru dikeluarkan FATF pada sidang pleno bulan Oktober 2004 yang lalu. Rekomendasi mencakup 4 bidang yaitu legal system, financial and non-financial businesses measures, institutional measures, and international co-operation. Untuk mengevaluasi tingkat kepatuhan suatu negara terhadap rekomendasi yang dikeluarkannya, FATF mengeluarkan NCCTs (Non-Cooperative Countries and Territories) Initiative yang bertujuan untuk mengetahui negara-negara yang tidak kooperatif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Evaluasi berdasarkan NCCTs Initiative ini menggunakan 25 kriteria (yang mengacu pada 40 recommendation) untuk mengetahui praktek dan ketentuan di suatu negara yang masih belum sejalan dengan rekomendasi FATF. Evaluasi berdasarkan NCCTs Initiative ini dilakukan pertama kalinya pada Juni 2000 dan selanjutnya secara regular dilakukan oleh FATF. Evaluasi pertama ini menghasilkan 14 negara masuk dalam daftar NCCTs.
- Dalam proses pelaksanaannya, FATF melakukan evaluasi berkala terhadap perkembangan penanganan rezim tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh negara-negara yang dimasukkan dalam daftar NCCTs, khususnya respons terhadap beberapa rekomendasi yang disampaikan oleh FATF dalam setiap kegiatan evaluasinya. Evaluasi terhadap Indonesia biasanya diawali dengan penyampaian laporan atau tanggapan resmi pemerintah RI kepada FATF mengenai perkembangan penanganan rezim anti pencucian uang, yang kemudian diikuti dengan pelaksanaan pertemuan bilateral antara Tim Review FATF dengan pemerintah RI. Laporan pemerintah RI dan hasil pertemuan bilateral tersebut dilakukan untuk selanjutnya akan disampaikan pada sidang pleno FATF yang diselenggarakan setiap empat bulan sekali (Februari, Juni dan Oktober). Dari serangkaian evaluasi yang dilakukan, pada bulan Oktober 2003 FATF menyatakan apresiasinya atas berbagai perkembangan positif yang terjadi di Indonesia yang berdampak pada terhindarnya Indonesia dari sanksi counter-measures namun masih masuk dalam daftar NCCTs. Untuk itu FATF meminta Pemerintah RI untuk menyerahkan rencana penerapan (comprehensive implementation plan) AML regime. Rencana implementasi tersebut mencakup antara lain peraturan dan prosedur yang secara khusus mengatur penerapan mutual legal assistance (MLA) sebagaimana diatur dalam amandemen UU No. 15/2002, penjabaran secara detail atas praktek pelaksanaan MLA; struktur organisasi, kepegawaian, dan kerangka operasionalisasi PPATK, dan cara pelaksanaan kewenangan PPATK. Implementation Plan diserahkan oleh Pemerintah Indonesia kepada FATF tanggal 18 Februari 2004. Selanjutnya FATF menyatakan bahwa Implementation Plan sudah memenuhi harapan FATF dan tinggal menunggu pelaksanaannya.
- Berdasarkan hasil sidang pleno FATF 20-22 Oktober 2004 yang disampaikan melalui surat resmi kepada PPATK tanggal 22 Oktober 2004, Presiden FATF menyatakan kembali apresiasinya kepada pemerintah Indonesia atas berbagai kemajuan yang berarti dalam penanganan rezim anti pencucian uang, namun masih tetap masuk dalam daftar NCCTs bersama 5 negara lain yaitu Cook Islands, Myanmar, Nauru, Nigeria, dan Filipina. Sebagai langkah untuk memutuskan posisi Indonesia dalam daftar NCCTs, Tim Review FATF melakukan on-site visit ke Indonesia untuk memastikan efektifitas dari penerapan rezim anti pencucian uang pada tanggal 27-28 Januari 2005.
- Indonesia telah menunjukkan pencapaian yang luar biasa untuk mematuhi standar internasional pencucian uang dan telah mengambil langkah-langkah di bidang penanggulangan pencucian uang baik di tingkat pemerintah maupun sektor keuangan. Upaya-upaya yang dilakukan Indonesia dalam rangka pemberantasan tindak pidana pencucian uang, secara garis besar antara lain:
- Pemberlakuan UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003;
- Pembentukan PPATK sebagai focal point pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
- Pembuatan Peraturan Pelaksanaan berupa; Peraturan Pemerintah, Keppres, Keputusan Kepala PPATK, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Bapepam, Keputusan Menkeu, Keputusan Dirjen Lembaga Keuangan, dan Keputusan Dirjen Bea dan Cukai.
- Melaksanakan kerjasama internasional berdasarkan MoU dengan Financial Intelligence Unit (FIU) negara-negara Malaysia, Thailand, Korea Selatan, Filipina, Australia, Rumania, Belgia, dan berdasarkan asas reciprocity dan exchange letter dengan negara-negara lainnya;
- Penandatanganan ASEAN MLA Treaty bersama beberapa negara ASEAN lainnya,
- Penyusunan RUU Bantuan Hukum Timbal Balik (MLA) yang akan memungkinkan Indonesia melakukan kerjasama internasional yang lebih baik dalam penegakan rezim anti pencucian uang;
- Tindakan responsif Indonesia dalam memenuhi permintaan informasi yang berkaitan dengan pencucian uang dan tindak pidana lainnya dari negara lain;
- Keanggotaan dan peran aktif Indonesia di dalam APG (Asia Pacific Group on Money Laundering) dan the Egmont Group (Perkumpulan FIU se-dunia);
- Pembuatan MoU antar instansi terkait di dalam negeri (PPATK, Bank Indonesia, Polri, Kejaksaan, DJ Lembaga Keuangan, Bapepam, DJ Bea dan Cukai, DJ Pajak, dan KPK);
- Pembentukan Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (Komite TPPU) dan Tim Kerja membahas issue strategis;
- Pelaksanaan ”Implementation Plan on Indonesia Anti-Money Laundering Regime” yang telah diserahkan kepada FATF pada tanggal 18 Februari 2003;
- Peningkatan kinerja rezim anti pencucian uang Indonesia yang tercermin dalam :
- Jumlah PJK yang menyampaikan LTKM (74 bank, 17 non-bank);
- Jumlah LTKM yang dilaporkan oleh PJK (1432 LTKM);
- Jumlah LTKT (Laporan Transaksi Keuangan Tunai) yang dilaporkan kepada PPATK (865.646 LTKT);
- Jumlah hasil analisis LTKM yang dilaporkan oleh kepada Polri (258 kasus) dan Kejaksaan (2 kasus)
- Jumlah perkara TPPU yang diproses oleh aparat penegak hukum.
- Pelaksanaan compliance audit yang lebih intensif dalam rangka meningkatkan kepatuhan Penyedia Jasa Keuangan baik yang dilakukan sendiri oleh PPATK, maupun yang dilakukan bersama otoritas pengawas PJK; dan
- Peningkatan kemampuan aparat instansi terkait dalam penegakan rezim anti pencucian uang melalui pelatihan dan seminar di dalam dan luar negeri.
- Dalam upaya pemberantasan pencucian uang, Pemerintah RI telah melakukan upaya perbaikan di bidang legislasi dengan mengeluarkan UU no 15/2002 tanggal 17 April 2002 mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang, dan amandemen atas UU tersebut telah diberlakukan dengan UU no. 25 tahun 2003. Dengan amandemen tersebut diharapkan dapat mengeluarkan Indonesia dari daftar Non-Cooperative Countries and Territories (NCCTs) di bidang pemberantasan pencucian uang. Di samping itu Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia mengenai Know Your Custome (KYC) Principles bulan Juni 2001 yang kemudian diamendir pada bulan Desember 2001 dan Oktober 2003. Ketentuan KYC untuk perusahaan efek dan ketentuan KYC untuk lembaga keuangan non-bank (asuransi, perusahaan pembiayaan, dan dana pensiun) dikeluarkan masing-masing oleh Ketua Bapepam dan Menteri Keuangan pada bulan Januari 2003. Sementara itu untuk meningkatkan kepatuhan bank terhadap UU dan ketentuan KYC Bank Indonesia pada bulan September 2004 mengeluarkan ketentuan yang mengkaitkan penerapan KYC dan UU TPPU dengan penilaian tingkat kesehatan.
- Indonesia senantiasa aktif dalam pertemuan tahunan Asia/Pacific Group on Money Laundering (APG). APG merupakan “FATF-style Regional Body” (FSRB) yang berstatus observer dalam keanggotaan FATF. Beberapa anggota FATF juga merupakan anggota “FATF Style Regional bodies”. APG bertujuan memastikan adopsi, implementasi dan penegakan standard anti pencucian uang dan pendanaan terorisme yang diterapkan FATF, termasuk upaya membantu negara-negara dan territory di wilayah Asia Pasifik dalam memberlakukan hukum dan peraturan terkait dengan hasil kejahatan, MLA, pembekuan, dan ekstradisi, dan memberikan arahan dalam membentuk system pelaporan dan investigasi transaksi mencurigakan, serta dan membantu menbentuk FIU. Pertemuan di Bangkok tahun 1997 telah membentuk APG, dan Pertemuan APG pertama diadakan di Tokyo dan selanjutnya APG melakukan pertemuan tahunan. Sejak peristiwa 11 September 2001, APG mengembangkan lingkupnya mencakup masalah penghentian pendanaan terorisme. APG melakukan mutual evaluation anggotanya dan melakukan lokakarya periodik mengenai money laundering methods and trends. APG didukung Sekretariat yang merupakan focal point kegiatan APG.
- Berdasarkan Pasal 18 UU no. 15/2002 tersebut dibentuk pula Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai lembaga independen yang bertanggung jawab kepada Presiden yang bertugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Dalam rangka kerjasama internasional, Pemerintah RI dalam hal ini PPATK telah mengadakan kerjasama pertukaran informasi intelijen keuangan yang dituangkan dalam MoU dengan beberapa Financial Intelligence Unit (FIU). PPATK sebagai FIU pada bulan Juni 2004 juga telah diterima sebagai anggota Egmont Group. Egmont Group yang bertemu pertama kali di Egmont-Arenberg Palace, Brussels merupakan organisasi informal yang ditujukan sebagai forum bagi Financial Intelligence Units dari berbagai Negara untuk memperbaiki program-program anti pencucian uang di tingkat nasional, termasuk memperluas dan mensistemasisasi pertukaran informasi intelijen keuangan, memperbaiki keahlian dan kemampuan personil masing-masing FIU, dan memajukan komunikasi antar FIU melalui penerapan teknologi. Penerimaan PPATK sebagai anggota Egmont Group memberi makna penting yaitu diakuinya PPATK sebagai bagian dari komunitas intelijen keuangan dunia, dan pengakuan terhadap PPATK sebagai FIU Indonesia yang telah beroperasi secara penuh. Pengakuan tersebut secara implisit merupakan penghargaan masyarakat internasional terhadap upaya Pemerintah RI di dalam menata rezim anti pencuciannya.
- Guna meningkatkan efektifitas penerapan kebijakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, pada tanggal 5 Januari 2004 telah dibentuk “Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang” (Komite TPPU) yang dipimpin oleh Menko Polhukam sebagai ketua, Menko Perekonomian sebagai wakil ketua dan Kepala PPATK sebagai sekretaris. Komite ini beranggotakan para pejabat tinggi negara yaitu Menteri Luar Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Hukum dan HAM, Kapolri, Jaksa Agung, Kepala BIN dan Gubernur Bank Indonesia. Komite TPPU dibantu oleh tim kerja yang beranggotakan eselon I dari instansi terkait. Komite TPPU telah mengadakan pertemuan koordinasi untuk membahas perkembangan penanganan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.
- Di tataran internasional, Indonesia telah mengesahkan empat dari 12 konvensi internasional menyangkut terorisme, yaitu:
- “Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft”,
- “The Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation”;
- “Convention on Offenders and Certain Other Acts on Board Aircraft”
- “Convention on the Physical Protection of Nuclear Material”.
Indonesia saat ini sedang mempersiapkan ratifikasi “International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism,1999” dan aksesi “International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing”, 1997. Indonesia telah menjadi pihak 1988 UN Drug Convention, dan mempersiapkan ratifikasi UN Convention against TOC dan Protokolnya mengenai “Trafficking in persons” dan “Smuggling of migrants”, serta UN Convention against Corruption, yang di dalamnya diatur mengenai masalah pencucian uang dan MLA.
- Mengingat pencucian uang terkait dengan pendanaan terorisme, Indonesia telah melakukan kerjasama dengan Australia mengenai Combating International Terrorism, Indonesia dan Australia telah menjadi tuan rumah bersama Konferensi Regional mengenai Money Laundering and Terrorist Financing di Bali pada tanggal 17-18 Desember 2002. Pada tanggal 4-5 Februari 2004, Indonesia dan Australia kembali menyelenggarakan Bali Regional Ministerial Meeting on Counter Terrorism, khususnya dalam rangka penguatan kerjasama penegakan hukum yang komprehensif dan efektif, information sharing, dan penguatan kerangka hukum.
- Dalam rangka kerjasama penanggulangan kejahatan transnasional, Indonesia sejauh ini telah melakukan perjanjian MLA (Mutual Legal Assistance) dengan beberapa Negara, sbb :
- MLA Treaty RI- Australia mengenai Mutual Legal Assistance on Criminal Matters ditandatangani 27 Oktober 1995 dan diratifikasi dengan UU No. 1/1999.
- MLA Treaty Indonesia-China ditandatangani di Jakarta, 24 July 2000. Perjanjian belum diratifikasi.
- MLA Treaty Indonesia dan Korsel, ditandatangani 30 Maret 2002, dan dalam proses menuju ratifikasi
Indonesia juga senantiasa aktif dalam mewujudkan gagasan pembentukan MLA Treaty diantara Negara-negara Asia Tenggara, dan untuk itu Indonesia telah menandatangani “Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters” bersama Negara-negara Asia Tenggara lainnya (Kamboja, Laos, Vietnam, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina).
Saat ini pemerintah Indonesia juga telah menyelesaikan RUU MLA dan telah pula disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM kepada Presiden RI pada tanggal 25 November 2004.
- Keberadaan Indonesia dalam daftar NCCTs kiranya tidak sejalan dengan proses reformasi dan demokratisasi yang telah berlangsung dengan sangat baik di Indonesia dan sudah mendapat pengakuan dunia. Dalam pendekatan tersebut, kiranya juga dapat dijelaskan perkembangan positif di tanah air mengenai proses demokratisasi, komitmen kuat untuk memberantas korupsi, good governance dan penegakan rule of law.
—-akd—-
“DISCLAIMER : Semua tulisan, artikel, informasi dan gambar yang ada pada blog ini merupakan pendapat pribadi Antonius Ketut Dwirianto selaku pemiliki akun/blog dan tidak dimaksudkan untuk menduplikasi karya pihak lain, mengaburkan data dan informasi, memberikan informasi dan keterangan palsu atau menyimpang serta memiliki maksud-maksud yang melanggar kode etik dan hukum”